Akhir Kisah

Aku sekarang hanya bisa memperhatikan dia. Dulu kita sedekat nadi, namun sekarang sejauh langit dan bumi. Dia hanyalah objek nyata yang tak bisa kugenggam. Semakin ingin kugenggam, semakin menjauh. Ada rasa sesal di dalam hati ini jika kuingat masa itu. Masa dimana aku melakukan hal paling bodoh dalam hidup. Namun menyesal tak ada gunanya.
Dia, Andi namanya. Kita sudah bersahabat sejak menginjak bangku Sekolah Dasar, dan entah aku atau dia yang telah merusak persahabatan ini. 2 tahun lalu, dia menyatakan perasaannya padaku. Namun dengan bodohnya aku langsung pergi meninggalkannya tanpa berkata apapun. Sungguh jahat. Dan lebih jahatnya aku menjalin hubungan dengan seorang sahabat dekat Andi sendiri. Bodoh. Kata itu yang selamanya tepat untukku. Rasa sesal masih menjajah hati, rindu pun seakan tak dapat terobati.
“Ayum” Seseorang menepuk bahuku dengan pelan, menyadarkanku dari lamunan menyedihkan. Kualihkan pandangan ke Deva sahabatku.
“Hm ya? Kenapa?” Tanyaku seusai dia duduk di sampingku.
“Jangan melamun. Kamu masih memikirkan dia?” Dia bertanya balik padaku. Aku hanya menggeleng lemah kemudian tersenyum dalam derita.
“Tidak. Aku hanya memikirkan, kalau karma ternyata memang ada”
“Tapi menyesal bukanlah jalan. Lari juga bukan hal terbaik. Sebaiknya, kamu selesaikan masalah ini dengan pikiran dingin” sedetik kemudian Deva bangkit dari duduknya. Ucapannya masih terngiang jelas di kepalaku. ‘Selesaikan masalah ini dengan pikiran dingin’ bagaimana caranya? Andi saja sepertinya menyimpan dendam terhadapku.
Ya, sejak saat itu hubunganku dan Andi mulai renggang. Tak ada lagi kebersamaan manis, tak ada lagi wajah wajah polos yang menghiasi, dan tak pernah kudengar suaranya lagi. Semuanya seakan berbalik 180 derajat.
Aku berdiri tegap berpijak pada atap bersemen keras. Kurentangkan tanganku lebar merasakan terpaan angin sepoi sepoi di rooftop sekolah. Hanya tempat ini yang bisa membuatku lebih tenang dan berpikir jernih dalam menjalani hidup.
“Mungkin aku tak sama tinggi dengan inginmu. Tapi, untukmu aku berjuang, dan di do’aku dirimu ada” Ujarku yang masih terselip dalam dasar hati tergelap dan tak mampu dilihat. Ingin ku berkata, namun bibir tak mampu bicara.
“Oh, maaf.. saya kira tak ada orang” Aku diam terpaku. Suara itu.. suara yang sangat ingin kudengar. Suara yang menghilang 2 tahun belakangan ini. Tapi rasanya masih mustahil akan kehadirannya.
“Sebaiknya saya pergi saja” mendengar itu, aku langsung membalikkan badan menghadap ke sosok yang berucap beberapa detik lalu.
“Andi” Kupanggil namanya dengan ragu. Tubuhku bergetar, jari jari ku meremas rok sekolah yang kukenakan sekarang. Dia berhenti. Tanpa menoleh sedikitpun.
“Ya?” Tanyanya pelan sambil tetap menatap lurus ke depan.
“Maaf” hanya kata itu yang dapat terlontar dari mulutku secara refleks bahkan mungkin pikiranku tak sadar.
Dia akhirnya menoleh ke arahku kemudian langkahnya mendekat. Aku yang sadar akan hal itu langsung memnundurkan langkahku hingga sudah membentur batas rooftop.
“Penyesalan selalu datang di akhir kan? Segala sesuatu yang kita lakukan itu butuh proses. Sama halnya dengan saya. Saya butuh proses untuk menyaring setiap peristiwa yang masuk dalam kehidupan saya. Dan akhirnya saya telah menemukan seseorang. Lagi.” Serasa dadaku sesak. Aku tak tau apa yang dimaksud oleh Andi. Udara di sekitarku seakan terasa panas padahal angin semilir berhembus di sini. Kutunggu Andi menyelesaikan ucapannya.
“Saya memaafkan kamu. Jangan dibahas lagi yang dulu” tangannya terulur untuk mengusap puncak kepalaku dengan lembut. Sesaat kemudian Andi melangkahkan kakinya pergi. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang mulai menjauh hingga hilang menuruni tangga.
Aku masih terdiam. Entah karena senang atau merasa aneh? Ya, setidaknya hubunganku sudah mulai membaik sekarang.
Keesokan harinya aku berangkat sekolah seperti biasa. Tak ada yang spesial, tak ada yang berubah sampai pagi itu aku melihat Andi tengah bersenda gurau dengan Kenanga. Wanita teman sekelas Andi yang populer dan berprestasi. Pastinya sangat jauh berbeda denganku yang sangat biasa saja.
“Hai Ayum” Aku tersadar setelah melamun memperhatikan mereka cukup lama. Andi menyapaku.
“Hai Yum” Kenanga ikut menyapa sembari tersenyum.
Mereka memang pasangan yang cocok. Mungkin aku tak perlu kaget lagi apabila nanti beredar gosip jika mereka berdua telah menjalin sebuah hubungan yang pastinya lebih dari sekedar teman.
“Iya, hai” Aku balas tersenyum menyapa mereka kemudian beranjak pergi sebelum cairan bening dari mataku tumpah keluar.
Buru buru aku datang ke tempat itu lagi. Tempat dimana aku bisa merasakan ketenangan. Akan hadir selalu angin sejuk yang menemani kesendirianku. Belum cukup aku menyesal sejak saat itu. Masih ingin menumpahkan rasa bersalah yang sangat amat mendalam.
“Jangan salah faham” Aku membalikkan tubuhku menatap si pemilik suara dengan air mata yang sudah di ujung kelopak.
“Saya masih sama seperti dulu.” Andi mendekat kemudian tak lama aku sudah merasakan kehangatan di dekapannya. Aku hanya bisa terdiam di pelukannya yang membuatku nyaman.
“Saya sudah tau perasaan kamu” Ujarnya lirih dan pelan membuatku hanya dapat bungkam.
Akhir kisah? Belum. Mungkin nanti di kehidupan selanjutnya akan ada masalah yang datang silih berganti. Tapi hubungan tanpa rintangan itu rasanya seperti sayur tanpa garam bukan? Semoga saja aku siap untuk nantinya.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan isyarat, yang tak sempat diucapkan. Aku mencintaimu tanpa tau bagaimana. Tanpa kerumitan atau kebanggaan. Sebab ku tau, tiada cara lain untuk mencintaimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Riwayat singkat penulis blog